Pembaca.. kisahku ini dimulai ketika aku diterima menjadi seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta di sebuah kota di Kalimantan. Belum lama aku bekerja di perusahaan tersebut tepatnya baru 5 bulan, bosku memperkenalkan aku dengan sahabatnya.
Sahabat bosku ganteng, kaya, dewasa, pekerjaannya pun mapan, jika dibandingkan dengan pacarku atau lebih tepatnya bisa dibilang suamiku karena kita diam-diam sudah menikah sirih, tetapi perusahaan tidak pernah tahu kalau aku sudah menikah karena masa dinas yang tidak memperbolehkan karyawan menikah sebelum satu tahun bekerja. Suamiku hanya seorang admin di sebuah perusahaan asuransi dan masih menyelesaikan kuliahnya, jika dibandingkan dengan sahabat bosku yang sudah mapan, kaya, dan ganteng itu sungguh sangat jauh berbeda.
Awalnya aku menolak menerima cinta sahabat bosku tersebut, dengan menangis-nangis dia memohon agar aku mau menerima cintanya. Tapi memang awalnya aku belum tertarik padanya, aku merasa tahu diri bahwa aku sudah bersuami dan aku sangat mencintai suamiku itu, dengan membayangkan masa-masa dulu bahagia dengan cinta yang kami bina.
Tetapi dengan penuh cinta, sahabat bosku tersebut berusaha terus mendekatiku. Dia menelpon, sms, menghubungiku melalui Facebook, dan dengan cara-cara lainnya. Meskipun dia jauh di Jakarta, tetapi tidak memupuskan semangatnya untuk mengejarku. Tanpa disadari aku mulai kehilangan dia ketika dia sehari saja tak menghubungiku, aku merindukannya ketika sejam saja dia terlambat menanyakan aku apa sudah makan siang atau belum, aku merasa nyaman dengan kedewasaanya, kasih sayangnya, dan semua perlakuannya kepadaku.
Aku mengkhianati suamiku (ilustrasi)
Pada suatu hari kami bersepakat untuk bertemu, dia bela-belain ke Kalimantan hanya untuk menemuiku. Dia utarakan niatnya untuk memperistriku tapi karena aku juga mulai mencintainya akupun berniat memilihnya untuk menjadi suamiku yang sebenarnya. Aku berniat untuk meminta cerai talak kepada suamiku yang sekarang. Tapi karena aku tahu bahwa aku sudah tidak perawan karena aku sudah menikah sirih dengan suamiku yang sekarang. Kuceritakan kondisi diriku yang sebenarnya kepada sahabat bosku tersebut.
Dia menangis seolah tidak terima bahwa seseorang yang sangat dicintainya dan dipilih untuk menjadi istrinya tidak sesuai dengan kriteria dirinya dan keluarganya. Dia bilang kalau dia pribadi bisa menerima aku apa adanya karena dia sangat mencintaiku, tapi untuk memperkenalkan aku kepada keluarganya dia bilang belum bisa dan belum sanggup melakukannya.
Dia tak tahu apakah keluarganya mau menerimaku atau tidak jika calon menantunya adalah seorang janda. Karena di dalam keluarganya harga diri, nama baik, status sosial, bibit, bebet, dan bobot adalah sangat menjadi pertimbangan.
Aku sangat kecewa dengannya, aku berusaha melupakannya setelah pertemuan itu, tetapi tidak kusangka dia tetap menelponku meski dia tahu bahwa aku tidak seperti yang dia mau. Dia tetap berusaha menjaga hubungan cinta kami. Lama kelamaan aku menyadari bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti dia mencintaiku, mengagumiku. Aku merasa menjadi wanita yang paling cantik dan sempurna di dunia karena dicintai seseorang pria dewasa seperti dia.
Akhirnya kita tetap berhubungan, tak ayal berhubungan badanpun sudah menjadi suatu kebutuhan dan sebuah ungkapan untuk kami melepas rindu. Meski jarak memisahkan kami tetapi tidak memupuskan semangat kami untuk memadu cinta. Sebulan sekali kami pasti bertemu, entah dia yang ke Kalimantan atau aku yang ke Jakarta hanya untuk menemuinya. Meski aku harus berbohong kepada keluarga besarku dan suamiku soal seringnya aku harus keluar kota. Aku selalu membuat alasan kalau aku mendapat tugas dinas keluar kota dari kantor. Dengan penuh kesabaran suamiku selalu mengantarkan aku ke bandara jika aku mau ke jakarta dan menjeputku lagi di bandara saat aku kembali ke Kalimantan.
Hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu, kami terus memadu kasih melalui dunia maya, handpone dan sebagainya. Suatu hari keluargaku berniat menikahkan aku secara resmi dengan suamiku, aku bingung harus berbuat apa. Sedangkan aku sudah tidak mencintainya lagi, semua sudah pudar seiring berjalannya waktu. Tetapi aku pun tidak pernah mendapat kepastian dari sahabat bosku itu tentang hubungan kami.
Hubunganku dengan sahabat bosku yang tidak tahu kemana akan dibawa membuatku berpikir dua kali. Sampai kapan aku terus mengharapkannya, sedangkan dia seolah lebih mencintai keluarganya dibanding aku. Meskipun dia rela melakukan apa saja untukku tapi tidak untuk menentang keluarganya demi aku.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjalani pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku kepadanya sudah tidak seperti dahulu lagi tapi aku tidak ada pilihan lain. Daripada aku menunggu selikuhanku yang tidak pernah ada kepastian. Dan akhirnya aku pun menikah resmi.
Sahabat bosku itu terus menelponku dan menangis, dia merasa dia juga tidak bisa berbuat apa-apa atas kehidupannya bersamaku. Tapi entah mengapa aku merasa nyaman, tenang, dan bahagia atas pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku tidak lagi sepenuhnya seperti dahulu.
Hari demi hari aku lalui dengan berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik di depan suamiku meski aku tidak setia kepadanya. Hubunganku dengan selingkuhanku pun terus berlanjut, tak berbeda dengan sebelum aku menikah kami tetap saling mengunjungi entah aku ke Jakarta atau dia yang ke kalimantan. Dia tetap mencintaiku seperti dulu, tidak berubah. Dia tetap mengagumiku, memujaku seperti dulu, bahkan kami sempat untuk berencana memiliki anak. Kami terus berusaha untuk bisa segera punya anak, sama seperti suamiku yang ingin segera memiliki anak dari pernikahan kami.
Satu bulan, dua bulan, akhirnya bulan keempat pun tiba. Aku merasa tidak mendapatkan haid di bulan itu. Seminggu setelahnya aku periksa kedokter ternyata hasilnya positif, iya aku hamil. Meski aku belum tahu anak siapa yang aku kandung tapi berita ini membuat kedua laki-laki yang sama-sama mencintaiku itu sangat bahagia.
Tapi entah kenapa aku tidak yakin kalau ini anak selingkuhanku, karena dilihat dari frekuwensi kami bertemu hanya sebulan sekali, meski setiap kali kami bertemu kami pasti berhubungan badan. Pernah suatu hari selingkuhanku menanyakan kepastian siapa bapak dari anak yang aku kandung, tapi aku meyakinkan dia bahwa untuk tidak terlalu berharap karena menurutku labih baik dia kecewa sekarang daripada nanti setelah aku melahirkan, dia lebih kecewa lagi ketika dia tahu bahwa si kecil ngga mirip dia.
Hari ke hari, bulan ke bulan, sampe akhirnya tiba waktu aku melahirkan. Suamiku yang setia menungguiku dari awal aku merasa kesakitan sampai saatnya aku bertaruh nyawa melahirkan anakku, anakku yang aku belum tahu siapa bapaknya. Dari pagi sampai pagi lagi suamiku dengan sabar mendampingiku, memberiku support dan semangat. Sampai dia tertidur di sebelahku, aku mengamatinya dan memandangnya ya Allah aku telah banyak menyakitinya, menghianatinya tanpa pernah dia tahu. Seandainya dia tahu perbuatanku yang sangat bejat ini mungkin dia tidak akan pernah mau melihat mukaku lagi dan mungkin aku akan kehilangan laki-laki yang sangat setia dan baik ini.
Rasa ibaku muncul, tiba-tiba aku ingat masa-masa dulu aku bersamanya merajut cinta. Susah senang kami jalani bersama tanpa mengeluh. Cintaku kembali bersemi untuk suamiku, rasa iba itu membawaku kembali mencintainya, menyayanginya, ya Allah betapa aku merasa diriku hina sekali dihadapannya. Aku tidak pantas memperlakukannya seperti itu. Ternyata aku sadari bahwa masih ada setitik rasa cinta untuk suamiku.
Akhirnya aku pun melahirkan buah hatiku, yang banyak orang menantinya. Dia cantik, putih bersih, mungil. Wajahnya mirip sekali denganku, tetapi bentuk tubuhnya mirip sekali dengan ayahnya, ya! Ayahnya yang tegap, tinggi besar, dan bertulang besar, dia adalah suamiku. Suamiku yang sah yang akupun mulai mencintainya lagi, menyayanginya. Ternyata bapak dari anakku adalah suamiku yang sah, entah kenapa pula aku sangat bahagia mengetahui bahwa ayah kandung dari anakku adalah suamiku sendiri, suami yang sah, yang aku khianati sejak lama.
Akupun menelpon selingkuhanku untuk memberi tahu kabar baik ini kepadanya, meski belum tentu ini adalah kabar menggembirakan buat dia. Setelah kuberi tahu, dia seolah sudah siap atas segala kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan bahwa si mungil cantikku itu bukanlah keturunanya. Kami sempat berkomunikasi melalui video call di rumah sakit, dan akupun menunjukkan si kecil padanya.
Dia tetap bahagia meski dia tahu bahwa anakku bukan darah dagingnya. dia selalu menanyakan kabar anakku setiap dia menelponku. Dia juga ikut cemas jika si kecil sakit. Bahkan dia mengirimkan kado istimewa untuk si kecil. Aku tidak pernah tahu terbuat dari apakah cintanya buatku. Seperti apapun kondisiku dia tetap mencintaiku dan memujaku.
Tapi aku kini telah sadar, aku mulai mencintai suamiku lagi, mulai menyayanginya lagi. Dan aku pun mulai jarang menghubungi selingkuhanku. Tapi meski begitu dia tidak pernah putus asa untuk selalu menjalin hubungan baik denganku. Baginya meskipun dia tidak bisa memilikiku paling tidak dia tetap bisa berteman denganku, tahu kabarku. Bahkan dia mengirimkan uang untuk kado si kecil. Membelikan boneka saat dia ke kotaku di kalimantan. Aku sangat menghargai cintanya buatku, tapi aku sadar bahwa aku sudah bersuami dan bahkan sekarang ada si kecil yang selalu membuatku sadar akan kodratku dan statusku.
Aku menyanyangimu Suamiku.. meski di hatiku sudah terbagi dengan yang lain meski secuil. Maafkan aku, tapi aku berjanji aku tidak akan meninggalkan kalian suamiku dan anakku, kalian tetap nomor satu bagiku. Aku mencintai kalian, kalian adalah semangat hidupku.